Kerja dalam Pandangan Sejumlah Pemikir
Nama : Zenitha Ramadani
Kelas : XI DKV
Tema Buku : Etika Kerja
Judul Buku : Etika Kerja Unggul
Pengarang : Kasdin Sihotang
Penerbit : Kanisius PT
Tahun Terbit : 2020
Jenis Buku : Etika
Halaman yang Dibaca : 20 Halaman
Hasil Resume:
BAB II
KERJA DALAM PANDANGAN
SEJUMLAH PEMIKIR
1. Pandangan Plato (427 SM-347 SM)
dan Aristoteles (384 SM-322 SM)
a. Pandangan
Plato (427 SM-347 SM)
Dalam karya-karyanya Plato jarang
mengangkat topic kerja atau pekerja, terutama yang berkaitan dengan uang atau
perdagangan. Hal seperti ini dianggap rendah olehnya karena mempertebal
kekayaan. Plato justru lebih banyak membicarakan hal-hal ideal melalui konsep
yang ditawarkannya seperti keuatamaan dan konsep jiwa. Menurut Plato, jiwa
merupakan posisi yang tertinggi bagi manusia.
Plato mengunggulkan orang-orang yang
dalm aktivitasnya berkaitan denganoikiran atau akal budi di satu sisi,
merendahkan orang-orang yang aktivitasnya berhubungan dengan kebutuhan di lain
sisi. Mengelola ide-ide adalah kegiatan yang paling mendasar dalam pandangan
Plato, sebaliknya melakukan aktivitas yang berhubungan dengan badan merupakan
aktvitas kurang berharga. Bagi Plato, tubuh adalh penjara bagi jiwa manusia,
karena tubuh membuat jiwa tidak bebas.
b. Pandangan
Aristoteles (384 SM-322 SM)
Pandangan Aristoteles tentang makna
kerja atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Plato.
Pekerjaan yang berhubungan dengan ketubuhan, khususnya yang menggunakan tangan
merupakan pekerjaan rndah karena demikian dilakukan oleh para budak.
Aristoteles memandang budak sebagai kelas masyarakat paling rendah dalam
stuktur social Yunani, modal mereka hanya kekuatan fisik dan kekuatan itu
diabsikan untuk tuannya semata. Budak bukan orang bebas. Orang bebas menurut
Aristoteles adalah orang yang menggunakan pikirannya dalam tindakan bukan
mengandalkan tubuhnya.
Seluruh kegiatan yang berhubungan
dengan tubuh dalam pandangan Aristoteles kurang bernilai, menurutnya yang
bernilai adalah aktivitas intelektif yakni berpikir. Esnsi manusia ada pada
kemampuan intelegensinya.atas dasar ini, Aristoteles mendefinisikan manusia
sebagai animal rationale, artinya
bianatang berfikir. Kerja badaniah
merupakan selubung bagi kegiatan berpikir, karena di dalamnya akal budi
ditekan. Tubuh menghambat kegiatan intelegensi.
2. Pandangan
John Locke (1632-1704)
John Locke merupaan slah satu tokoh
di abad modern yang berbicara tentang makna kerja bagi manusia. Pandangan John
Locke berbanding terbalik dengan Plato dan Aristoteles. John Locke justru
mengaitkan esensi kerja dengan ketubuhan manusia. Kelekatan dengan tubuh itu
bahkan menjadu poin penting pemikiran John Locke tentang kerja. Tiga argument
dasar John Locke untuk menmpatkan kerja sebagi sesuatu yang mendasar.
Pertama,
klekatan kerja pada tubuh manusia. John Locke menegaskan bahwa kerja melekat
ada tubuh manusia. Tubuh merupakan ungkapan eksistensi manusia disamping
jiwanya. Jika ada yang mencabut pekerjaan sesorang, sama saja dengan
menghancurkan tubuh orang yang bersangkitan. Menurut John Locke, bagi setipa
individu kerja merupakan hak asasi manusia, ini merupakan hukum kodrat. Dengan
ini, John Locke memberi penegasan bahwa setiap individu.
Kedua,
kerja merpakan perwujudan diri manusia. Bagi John Locke, kerja menjadi tempat
pengungkapan diri. John Locke juga menegaskan bahwa melaluo pekerjaan manusia
membbebaskna dirinya dari ketergantungan terhadap alam. Ketiga, kerja berkaitan dengan hidup. Bagi John Locke, hidup hanya
bisa dipertahankan malalui kerja. Orang yang tidak bekerja tidak akan mampu
hidup, karena manusia itu tidak dilahirkan untuk tinggal di alam pertama. Jadi,
bekerja bagi manusia merupakan satu-satunya jalan untuk mempertahankan hidup.
3. Adam
Smith (1723-1890)
Adam Smith mengaitkan kerja dengan
makna kebudayaan. Ia berpndangan bahwa seluruh kebudayaan merupkan hasil
pekerjaan manusia. Ia mengelompkkan dua jenis pekerjaan, yakni pekerjaan yang
produktif dan tidak produktif.
Pekerjaan produktif adalah pekerjaan kaumtani, buruh
sedangkan pekerjaan tidak produktif adalh pekerjaan para prajurit, politisi dan
ahli hokum. Dalam pembagian ini, Adam Smith jelas berbda andangan dengan Plato
tentang kerja, Plato menempatkan petani pada kelas tiga, Adam Smith justru
mengangkat mereka sebagai pihak yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial.
Selain perhatian pada dua jenis pekerjaan, Adam Smith juga
mengmabngkan gagasan tentang pembagian kerja, Adam Smith menunjukan tiga alasan
pentingnya pembagian kerja. Pertama,
meningkatkan kerajinan pada setiap pkerja yang pada giliran memperbaiki kondisi
hidup pekerja dan masyarakat kea rah yang lebih baik. Dalam hal ini Adam Smith
melihat pembagian kerja mendorongkemakmuran pribadi dan bersama, karena melalui
kerja peningkatan produk dapat dicapai. Kedua,
pembagian kerja menyebabkan penghematan waktu. Ini berarti, pembagian kerja
membuat seorang karyawan bekerja secara efesin.
Ketiga,
pembagian kerja mendorong dan menmbulkan penemuan mesing-mesin batu yang dapat
mempermudah sekaligus menghemat tenaga kerja. Adam Smith menyatakan bahwa
pembagian kerja membuat pekerja mmiliki kesempatan memikirkan cara-cara baru
dalam meningkatkan produktivitasnya.
4. Pandang
G. W. F. Hegel (1770-1881)
George Wilhelm Friedrich Hegel
menempatkan pekerjaan sebagi keseluruhan knteks kegiatan manusia. Menurut
Hegel, dalam pekerjaan manusia menemukan dirinya, sekaligus merealisasikan
dirinya. Bagaimana cara manusia menempatkan pekerjaan sebagai realisasi diri?
Menjawab pertanyaan ini, Hegel menguraikan keterkaitan subjek dan objek. Dalam
perjumpaan dengan objek-objek, manusia menyadari diri sebagai subjek. Bentuk
kesadaran ini diungkapkan Hegel dalamdua hal.
Pertama,
kesadaran akan keakuan manusia secara negative. Ini berarti, ketka melihat
objek-objek manusia menyadari dirinya bukan sebagai objek, melainkan sebagai
subjek. Kedua, kesadaran bahwa tanpa
objek manusia tidak memiliki pemahaman tentang dirinya. Itu berarti, manusia
hanya dapat menyadari dirinya ketika ia berada di tengah-tengah objek. Jadi,
struktur subjek-objek merupakan strukrtur dasar kesadaran manusia. Objek penting
bagi manusia untuk menyatakan keakuannya. Dengan demikian, objek-objek
dibutuhkan manusia untuk untuk menyadari
keberadaannya sebagai persona. Subjek mengubahnya sesuai dengan harapannya.
Jadi, ketidakasingan objek justru terjadi karena manusia mengungkapkan diri di
dalamnya.
5. Pandangan
Karl Marx (1818-1883)
Pemikiran Marx tidak lepas dari
pengaruh Hegel. Ia mengikuti pandangan Hegel. Karl Marx menempatkan pekerjaan
sebagai realisasi diri. Kendati dipengaruhi oleh Hegel, tetap Marx
mengembangkan esensi kerja dengan mengaitkannya dengan aspek social dan
historis yang tidak mendapat perhatian dalam pemikiran Hegel, bagi Marx selain
mengungkapkan dimensi personal, kerja juga mengungkapjkan dimensi social. Ini berarti,
hasil karya tidak ada yang dinikmati oleh pekerja sendiri, melainkan juga
dinikmati oleh orang-orang lain. Dengan demikian, bagi Marx kerja menghubungkan
manusia dengan manusia yang lain, dan
generasi satu dengan ke generasi berikutnya. Namun demikian, bagi masyarakat zaman
modern, kerja tidak lagi berfungsi sebagai aktualisasi diri, mrlainkan sebagai
realitas yang mengasingkan.
6. Pandangan
Erich Fromm (1900-1980)
Pandangan Erich Fromm juga
dipengaruhi oleh Karl Marx. Ia melakukan pemetaan tentang modus eksistensi
manusia yang dikelompokan menjadi dua bentuk, yakni modus “memiliki” (to have)
dan modus “mengada/menjadi” (to be). Pemetaan modus eksisensi ini menjadi kritik Fromm yang berharga bagi
manusia modern untuk memurnikan makna kerjanya.
Modus “memiliki” merupakan sesuatu
kodrati dalam diri manusia. Modus ini mewujudkan naluri, salah satunya untuk
memenuhi naluri ini adalah kerja. Menurut Fromm orang bekerja untuk mewujudkan
rasa kepemilikannya. Ia ingin memiliki ini dan itu dan keinginan itu dipenuhi
oleh bekerja. Dalam modus ini, demi tercapai tujuannya, orang dapat meelakukan
apa aja. Namun kelemahan modus ini, orang yang bekerja didasari semata oleh
modus “memiliki” memliki karakter destruktif patologik. Orang dengan karakter
demikian menjadikan pekerjaan hanya sebagai jalan untuk memenuhi kenikmatan. Orientasinya
adalah menguasai benda-benda, dengan orientasi ini sikap yang tumbuh dalam diri
orang itu adalah merusak dan menghancurkan orang lain, yang diistilahkan Fromm
dengan necrophilia. Karena objek pemilikan dapat hilang, maka orang penganut
modus “memiliki” akan selalu menjadi khawatir akan kehilangan apa yang
dimilikinya. Di dalam modus eksistensi ini tidak terdapat proses yang hidup
antara subjek dengan subjek, antara subjek dan objek. Relasi yang ada d
dalamnya adalah relasi yang mati
Menurut Fromm, kerja yang
sesungguhnya adalah “mengada” (to be). Dalam kata “to be” Fromm ingin
menyatakan bahwa kerja merupakan ungkapan atau penyataan nilai-nilai mendasar
manusia. Dalam modus ini manusia menempatkan kerja bukan sebagai aktivitas
untuk target, melainkan aktivitas yang bersifat personal dan bernilai etis sosial.
Dengan karakter “menjadi”, manusia memanifestasikan diri dalam bentuk memberi,
menjaga dan hidup bersama. Dengan demikian, kerja menjadi tempat memelihara dan
mendorong kehidupan, menghormati eksistensi dan kemerdekaan setiap individu. Bagi
Fromm, kerja merupakan seni hidup (the art
of living), lebih-lebih seni mencintai sesame (the art of loving).
7. Pandangan
Peter F. Drucker
Peter Drucker memberi focus makna
kerja pada penataan organisasi, karena organisasi menjadi bagian integral kerja
manusia modern. Kerja merupakan sebuah upaya penataan hidup bersama yang sarat
dengan nilai-nilai sosial. Penatan itu melibatkan logika. Keteraturan organisasi
marupakan syarat demi efektifnya pekerjaan untuk membangun masyarakat.
Komentar
Posting Komentar